GURU DAN MURID

Guru; digugu dan ditiru. Itulah slogan yang sering kita dengar untuk sosok seorang guru. Namun, masih layakkah slogan itu sekarang ?

 

Realita terjadi di era Milenia ini. Sosok guru yang dahulunya sangat dihormati, kini sepertinya bergeser. Seorang guru yang semestinya disegani, kini berubah. Sering kita baca atau dengar di media sosial seorang murid membawa gurunya ke meja hijau hanya karena guru itu menghukum murid tersebut karena tidak mengerjakan tugas.

‘ Murid’ berasal dari bahasa Arab yang artinya “ seseorang yang berkomitmen” yang akarnya berasal dari kata “ keinginan yang kuat dari dalam diri” atau willpower”. Sehingga seorang murid harus memiliki keinginan yang kuat dalam dirinya untuk selalu belajar. (KBBI). Jika kita tengok dari asal kata itu, selayaknya seorang murid punya keinginan kuat untuk belajar, berkarya, berkarakter baik, dsb. Lantas, pantaskah seorang murid memperlakukan gurunya seperti musuhnya ?

Slogan guru digugu dan ditiru merupakan sebuah slogan yang mulia sekaligus cermin diri, sikap, tingkah dan laku guru.  Seorang guru merasa tersanjung dan terhormat dengan slogan itu.  Guru berusaha bersikap, bertingkah, dan berlaku sesuai yang diharapkan slogan itu. Jika guru menghukum si murid, tidak lain ada alasan yang logis yang berujung pada perbaikan karakter murid.

Pandemi mengajarkan kita banyak hal, di antaranya pentingnya peran seorang guru. Pendidikan tanpa guru ibarat sayur tanpa garam. Murid dapat mempelajari semua materi di internet, tapi bukan untuk materi esensial yaitu pembetukan karakter baik yang akan menjadi roh kehidupan murid di kemudian hari.

Guru adalah profesi keahlian. Menjadi seorang guru tidaklah mudah. Di era Pembelajaran Jarak Jauh terbukti berapa pentingnya seorang guru dalam menetransfer pengetahuan. Teknologi yang mendominasi keberlangsungan PJJ tidak dapat menggantikan kedudukaan guru dalam kelas.

Tidak semua orang bisa menjadi guru. Selain ilmu paedagogik yang harus dikuasai, seorang guru harus punya bakat dan jiwa sebagai pendidik. Dengan jiwa dan bakat tersebut, dia akan mencintai profesinya. Keprofesionalisme itu yang kadang guru rela mempertaruhkan nyawa demi muridnya. Seorang guru di Tanggamus Lampung, rela melewati jembatan gantung dari kayu agar bisa mengajar.

Ada pepatah mengatakan “Hormat terhadap guru lebih  mulia dari pada ilmu yang diberikannya”.  Pepatah ini mengajarkan kita betapa mulianya seorang guru. Agama menyamai posisi seorang guru seperti orang tua kandung. Memposisikan seperti orang tua yang melahirkan dan membesarkan kita. Betapa mulia derajat seorang guru.

Cinta kasih guru kepada muridnya begitu besar. Kemarahan seorang guru pada muridnya tak lain hanya wujud sayang guru. Pengorbanan guru tidak diragukan lagi. Hingga ada istilah “ Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Istilah ini sepertinya menyiratkan bahwa sosok guru itu begitu berarti dan sangat berjasa hingga tak ada tanda jasa yang dapat mewakili keprofesionalitas, keikhlasan, dan keteguhannya mendidik, melatih, dan membimbing muridnya.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANTUN

GORENGAN

Ulang Tahun ke-50